Kamis, 18 Agustus 2011

Air Mata Haru Untuk Sangsaka

Laporan, Wicaksana Arif Turbrilian

DURI, TRIBUN - Kemerdekaan itu datangnya bukan dari langit. Bukan pula hadiah dari Belanda atau Jepang. Namun kemerdekaan Indonesia direbut dengan darah dan nyawa. Tak ada ketentraman. Tak ada kenyamanan di bawah kolonialisme. Itulah penggalan kalimat yang keluar dari mulut Kayat (91) kala dijumpai Tribun di Makoramil 06/0303, Rabu (17/8).

"Sambil meneteskan air mata dan bergumam, kapan ya merah putih berkibar gagah di langit Indonesia," kenangnya.

Kutipan kalimat itulah yang selalu mengelayuti kepala pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena dalam kondisi penjajahan, semua harta benda ludes dirampas Belanda. Veteran asal Bangkinang ini, menceritakan bagaimana perjuangan dilakukan kala itu. Sersan satu Tentara Nasional Indonesia ini mengaku tak pernah hidup tenang di masa kolonial dahulu kala.

Masa peperangan dulu, Kayat berserta 15 kawan satu regunya terus berjalan dari suatu daerah ke daerah lain. Berbulan-bulan tak ada henti. Tak jarang mereka berpapasan dengan tentara negeri matahari terbit. Perjalanannya dari Bangkinang hingga Padang. Dilanjutkan ke Medan. Tak ada bekal makanan yang cukup.

"Kita hanya berbekal keyakinan bahwa esok nanti pasti datang kemerdekaan yang diidamidamkan," tambahnya.

Untuk urusan makan, kelompoknya menunggu pemberian warga yang selalu mendukung perjuangan. Sedangkan, selama berbulan-bulan ia mengaku tak pernah ganti baju. Hanya satu lembar seragam yang ia kenakan. Baik panas maupun kala hujan tiba. Seragam itu tetap melekat hingga kering dengan sendirinya. Tak pernah terpikir untuk mencucinya.

Selama perjalannya, ia bersama kawanan hanya berbekal senjata seadanya. Parang dan bambu runcing selalu ditenteng kemanapun pergi. Lanjutnya, dalam satu kawanan hanya memegang satu senjata api berjenis AK 47. Itupun didapat dari hasil rampasan, pertemuannya dengan jepang.

"Namun amunisi kita terbatas, jadi bila terjadi persinggungan dengan tentara dai nipon, lebih baik kita menghindar bila kekuatan tak berimbang," ucapnya.

Itulah sepenggal cerita Veteran pejuang kemerdekaan. Namun ia bangga, terhadap perubahan yang begitu drastis dengan masa kini. Kala pertama kali menginjakkan kaki di Duri tahun 60-an, kondisinya masih hutan belantara. Berbeda dengan sekarang, menurutnya, kini kota Duri sudah maju.

Pada upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan, Rabu lalu, ia mendapatkan bingkisan dari Camat Mandau. Selaku Inspektur upacara, ia mengaku perlu memberikan apresiasi untuk orangtua yang dahulu memperjuangkan dan mewariskan kemerdekaan pada generasi penerus bangsa.

Sesaat setelah menerima bingkisan tersebut, mata Kayat kontan berkaca-kaca. Kepada Tribun ia berseloroh, kini merah putih bisa berkibar gagah di langit Indonesia. Tak ketinggalan, ia berpesan, pada generasi penerus bangsa untuk terus memajukan bangsa. Kala ditanya bentuk perjuangan masa kini, ia hanya mengatakan, banyak koruptor di negeri ini. Itulah yang harus diperangi.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar