Selasa, 09 Agustus 2011

Dapat Sebungkus Tak Apalah!!!!!

Laporan, Wicaksana Arif Turbrilian

DURI, TRIBUN - Subuh itu, Selasa (9/8), diguyur hujan rintik-rintik, lelaki tua berbaju sport kumal bermotif garis vertikal merah, biru dan putih, sibuk mengorek-mengorek bak sampah di depan pasar Mandau Raya, Jalan Jenderal Sudirman, Mandau. Wajah keriputnya memancarkan keseriusan memerhatikan onggokan sampah. Kais apa yang bisa diambil, kaleng atau plastik tak apalah.

"Ya saya ini pemulung, kenapa kamu melihat saya seperti itu anak muda? Saya bukan maling," sepenggal kalimat yang keluar dari bibirnya sambil memandangi Tribun.

Pria uzur ini nampak tak senang diperhatikan. Belakangan diketahui pria yang sehari-hari bergelut dengan sampah ini bernama Sofyan alias Kadap. Namu setelah dijelaskan maksud dan tujuan Tribun memerhatikannya barulah ayah lima orang anak ini berhenti memandang sinis.

"Saya kira kamu polisi, soalnya celingak-celinguk gitu kaya mau nangkap orang. Karena saya tak salah diintai gitu makanya saya tegur kamu," ujarnya sembari memutar muncung topinya ke arah belakang sambil tersenyum.

Ia mengaku, sehabis sahur langsung ke tempat sampah, saya harus mencari kaleng dan plastik sebanyak-banyaknya. Karena hutangnya sudah mulai menumpuk sama toke pengepul sampah. Menurutnya, pengepul sampah tempatnya menjual barang, merupakan orang baik. Ia kerap meminjam uang dengan cara pinjaman lunak. Dan diperbolehkan membayar dengan kaleng dan plastik yang ia dapatkan.

"Kita pinjam uang dulu, setelah itu kita bayar dengan barang-barang ini, itulah, saya pun bersyukur dapat toke baik. Dia mau mengerti keadaan saya dan dia selalu memberikan kemudahan untuk saya, itu juga merupakan nikmat tuhan," ujarnya.

Menurut Kakek tiga cucu ini, dirinya sudah berumur 67 tahun, pada tahun 1971, dirinya sudah menetap di Kota yang bergelar Kota Minyak ini. Awalnya dengan hijrahnya ia dari Kampung ke Duri, dirinya berharap dapat merubah nasib. Namun, takdir berkata lain, dirinya tak dapat kesempatan untuk mendapatkan kerja yang layak. Dirinya hanya dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja serabutan.

Saat ia masih muda dan kuat untuk menafkahi keluarga, semua pekerjaan berat ia lakoni, mulai dari menjadi tukang bangunan, pengangkat air. Hingga tukang sapu kota pernah ia lakoni, semua pekerjaan itu ia kerjakan dengan ikhlas dan sepenuh hati.

"Saya bekerja tidak milih, karena saya sadar siapa saya, saya orang tak sekolah, pekerjaan beratlah yang cocok untuk orang seperti saya ini. Walau berat kalau dikerjakan sepenuh hati akan menjadi mudah, yang penting uangnya halal untuk dimakan oleh istri dan anak," lanjutnya.

Setelah ketahanan fisiknya mulai menurun, pada pertengahan tahun 1984, dirinya memutuskan untuk memulung. Ia memulung ke semua tempat keramaian yang ada di Kota Duri ini. Dengan memulung, sehari ia mendapatkan penghasilan sekitar Rp 15 ribu sehari. Itulah hasil yang ia peroleh untuk menghidupi keluarganya hingga sekarang.

Sofyan juga mengatakan, jika dirinya dan keluarga selalu berpindah rumah, sudah lebih sepuluh tempat yang ia tempati. Alasannya karena sering pindah, lantaran harga kontrakannya naik, hingga ia harus mencari rumah kontrakan yang berharga murah lainnya.

Menurutnya biarlah dirinya dikatakan orang miskin. Karena itulah adanya, akan tetapi, walau hidupnya susah, dia tetap teguh menjaga prinsip. Ia mengharamkan menjadi benalu bagi orang lain. Apalagi paling anti menjadi pengemis. Ia mengibaratkan, kiamat bagi hidup seseorang apabila sampai jadi pengemis.

"Biarlah saya memulung, asal jangan jadi pengemis, itu sudah tekad saya sejak muda, tidak menyusahkan orang apalagi sampai jadi pencuri. Kalau seseorang, sudah menjadi pengemis itu artinya sudah kiamat bagi kehidupannya," ujarnya mantap.

Penderitaan hidup pak Sofyan belum juga tuntas hingga ia sudah memasuki masa senjanya. Walau anaknya sudah besar-besar, ada beberapa lagi yang masih mengharapkan penghidupan dari dirinya. Oleh karenanya, selain memulung ia juga nyambi jadi bekerja serabutan di Pasar Mandau Raya.

Bahkan, sejak tiga tahun belakangan, ia pun memutuskan untuk tinggal di pasar, dengan tumpangan lapak orang, ia tidur di situ dengan beralaskan karton. Ia tetap ceria dengan keadaan seperti itu. Katanya, kalau dipasar banyak rezeki. Karena untuk makan sehari-hari ia tidak perlu pusing.

"Kalau lapar, tinggal cuci piring di kedai nasi yang ada di pasar. Kalau untuk kebutuhan diri sendiri, hidup dari pasar saja. Banyak pekerjaan lain yang bisa ia lakukan, cuci piring dapat makan, nyapu pasar dapat uang rokok. sehari dapat sebungkus juga tak apalah," tutupnya.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar